Janganlah Mengkafirkan Para Pemimpin Kaum Muslimin
Membedakan mana dosa yang membuat pelakunya kafir (keluar
dari Islam) dan mana yang sebatas dosa besar, amatlah penting. Karena
keteledoran dalam membedakan dua hal ini, membuat sebagian orang tidak
objektif dan serampangan dalam menvonis kafir kaum Muslimin terutama para pemimpin-pemimpin Muslim.
Setidaknya ada tiga poin yang dijadikan alasan kaum
khawarij atau yang mengadopsi pemikirannya di zaman ini, dalam
mengkafirkan kaum Muslimin dan para penguasa Muslim:
Pertama: Maksiat yang dianggap kekafiran
Seperti memakan riba, memberi izin kepada bank-bank ribawi,
membuka lokalisasi. Padahal yang semacam ini bukanlah termasuk
kekafiran. Akan tetapi merupakan dosa besar; yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari Islam. Kecuali bila ada i’tikad kehalalan dosa-dosa
tersebut. Maka ini sudah menjadi kesepakatan para ulama akan kekafirannya.
Dan sebatas melakukan dosa, bukan berarti pelakunya
kemudian serta merta menganggap halal dosa yang dia lakukan, sehingga
boleh dihukumi kafir.
Dalinya hadis Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu, mengenai seorang pemabuk di zaman Nabi yang berkali-kali mendapat hukuman cambuk dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Karena seringnya mendapat hukuman, salah seorang sahabat sampai mendoakan laknat untuknya. Lantas Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ، مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Janganlah kalian melaknatnya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahuinya melainkan ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhaari no. 6780).
Dia meminum khamr, namun Rasulullah tidak serta merta
menghukuminya bahwa dia telah menghalalkan khamr. Buktinya Nabi
shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Dia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya“.
Menghukumi bahwa dia telah menghalalkan dosa, ini
membutuhkan bukti yang kuat. Atau setidaknya ada ketegasan ungkapan dari
pelaku dosa. Tanpa ada keraguan dan syubhat yang menghalanginya dari
vonis kafir.
Andai setiap pelaku dosa, serta merta dihukumi menghalalkan
perbuatan dosa yang ia lakukan, tentu Nabi tidak akan bersabda demikian
tentang pemabuk itu. Karena mengahalalkan dosa adalah sebab kekafiran
yang mengeluarkan seorang dari islam, sebagaimana telah disepakati oleh
para ulama.
Di samping itu, bila setiap orang yang melakukan maksiat
otomatis tervonis menghalalkan maksiat yang dia lakukan, dengan kata
lain, setiap perbuatan maksiat melazimkan pelakunya menghalalkan maksiat
yang dia lakukan, tentu semua pelaku maksiat adalah kafir. Padahal
banyak diantara mereka yang melakukan maksiat bukan karena meyakini
kehalakan dosa yang dia lakukan. Namun karena dorongan nafsu atau
syubhat yang ada dalam dirinya, dengan tetap meyakini akan keharaman
dosa yang ia lakukan.
Demikian pula dengan pemimpin muslim yang mengizinkan
berdirinya lokalisasi, atau bank-bank riba. Tidak serta merta dihukumi
bahwa dia telah menghalalkan dosa-dosa tersebut. Sehingga berhak
dihukumi kafir.
Bila kita sejenak merenungi keyakinan semacam ini, yaitu
keyakinan bahwa setiap perbuatan maksiat melazimkan pelakunya
menghalalkan maksiat yang dia lakukan. Maka akan kita dapati bahwa
sejatinya inilah hakikat daripada akidah khawarij, yang mana mereka mengkafirkan pelaku dosa besar.
Kedua: Kufur ashgor (kufur kecil) yang dianggap kufur akbar (kufur besar)
Seperti berhukum dengan selain hukum Allah, namun tanpa
menghalalkan hukum tersebut. Dengan keyakinan bahwa hukum Allahlah yang
paling baik. Seperti ini banyak kita dapati di negeri kaum muslimin hari
ini.
Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah: 44)
Yang mereka pahami dari makna “kafir” dalam ayat ini adalah
kafir akbar; yang mengeluarkan pelakunya dari islam. Padahal makna
“kafir” dalam ayat bukan demikian. Namun maknanya adalah kufur kecil;
yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama islam. Sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, mengenai makna ayat ini. Beliau menafsirkan,
كفر دون كفر
“Yaitu kafir namun tidak sampai mengeluarkan dari Islam (kufur kecil) “
Berbeda bila diiringi i’tikad kehalalan berhukum kepada
selain hukum Allah dan menganggap bahwa hukum tersebut lebih baik
daripada hukum yang Allah turunkan, maka ini tidak perlu dibicarakan
lagi. Karena para ulama telah sepakat akan kekafirannya.
Namun jangan disalah pahami, sehingga setiap penguasa yang
tidak berhukum dengan hukum Allah, maka serta merta berhak diprasangkai
atau divonis bahwa ia telah menghalalkan hukum tersebut. Atau meyakini
kehalalan berhukum denagn selain hukum Allah. Penjelasan berkaitan
dengan masalah ini, sama dengan yang telah dijelaskan pada poin pertama
di atas.
Karena bisa jadi ada faktor lain yang menyebabkan penguasa
tersebut berhukum dengan selain hukum Allah. Sehingga ia terhalangi
daripada kekafiran. Seperti karena lingkungan yang memaksanya
(orang-orang di sekeliling), atau karena dorongan syahwat dan nafsunya.
Menjatuhkan vonis kafir kepada penguasa yang tidak berhukum
dengan hukum Allah, harus dilandasi bukti yang jelas, kuat, akurat
(bukan hanya katanya dan katanya, atau sebatas berita yang ada
kemungkinan manipulasi dst) yang didukung dalilAl-Qur’an maupun Hadis.
Seperti dijelaskan dalam hadis Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu. Beliau mengatakan,
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى
السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا
وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ ،
قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ
فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggil kami, lalu
kami membaiat (mengucapkan sumpah setia) beliau. Dan diantara baiatnya
adalah agar kami berbaiat untuk mendengar dan taat kepada penguasa.
Baik ketika kami semangat ataupun tidak suka. Ketika lapamg ataupun
dalam kesusahan. Ataupun ketika kami diperlakukan secara
sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan
(mengkudeta) dari ahlinya. Beliau kemudian berkata, “Kecuali jika kalian
melihat kekufuran yang jelas telah kalian dapat buktinya dari Allah
Ta’ala” (Muttafaq ‘alaih)
Bila tidak ada bukti yang kuat dan akurat, maka kembali pada hukum asal seorang muslim. Yaitu terbebaskan dari segala tuduhan.
Ketiga: Muamalah duniawi dengan orang kafir, yang dianggap oleh mereka sebagai kufur akbar
Seperti kerja sama dalam perekonomian, perdagangan, militer (selama untuk kemaslahatan kaum muslimin) dan lain sebagainya.
Allah befirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ
لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ
آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ
كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Katakan: “siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
untuk orang-orang yang beriman di kehidupan dunia ini, dan khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat”. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat
itu bagi orang-orang yang mengetahui” (QS. Al-A’raf: 32).
Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan para
sahabatnya dahulu, pernah membeli baju besi, pedang dan pakaian dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya dari orang-orang yahudi. Jadi dahulu di
Madinah ada pasar milik kaum muslimin dan pasar milik kaum yahudi.
Mereka saling berdampingan dalam transaksi jual beli di pasar-pasar
tersebut. Kaum muslimin di kalangan sahabat, mereka membeli kebutuhan
sehari-hari mereka di pasar yahudi. Begitu pula sebaliknya, orang yahudi
membeli kebutuhan sehari-hari mereka di pasar kaum muslimin. Diantara
pasar milik kaum yahudi yang paling masyhur di masa itu adalah pasar
Bani Qunaiqa’. Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak mengingkari muamalah jual beli yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang yahudi. (Lihat: Siroh Ibnu Hisyam jilid 2, hal. 48)
Usman bin Afwan radhiyallahu’anhu. Beliau membeli
sebuah sumur dari salah seorang yahudi. Kemudian sumur tersebut
disedekahkan untuk kepentingan kaum muslimin. Sumur tersebut dikenal
dengan sumur ar-ruumau (bi’ru ar-ruumah).
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berhijrah ke Madinah, diantara program yang pertama beliau lakukan
adalah membuat perjanjian antara kaum muslimin dan kaum yahudi yang
berisi kesepakatan-kesepakatan antara kedua kedua belah pihak, yang
dituliskan dalam sebuah prasasti yang tercatat dalam sejarah. (lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah,
Juz III, hal. 225), memuat perjanjian aliansi militer serta musyawarah
rutin dalam masalah pemerintahan. Dan bila menemui perselisihan, mereka
kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu pula Nabi shallallahu’alaihi wasallam meninggal, sedang baju besi beliau tergadaikan di tangan orang yahudi (Lihat shahih Bukhari,
Kitab al-Jihad, hadis no. 2759). Dan tidak menutup kemungkinan baju
tersebut, dipakai oleh orang yahudi untuk berperang. Apakah kemudian
kita katakan bahwa Nabi dan para sahabatnya loyal kepada orang kafir?!
atau dikendalikan oleh orang kafir?! Tentu saja tidak kann?!
Fa’tabiruu yaa ulil abshoor! “Ambilah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.”
Demikian yang bisa penulis sampaikan. Wallahu a’lam bis showab.
______
______
Ditulis di: Asrama Mahasiswa Unit 8, Komplek Islamic University of Madinah.
12 Rabi’us Tsani 1436H
Penulis: Ahmad Anshori
0 komentar: